Dear honey,

Thank's buat Luna yang telah mau berbagi isi hatinya bersama <TulisCinta.Blogspot.Com>.

Suara Hati: @ <http://ceritaluna.blogspot.com/2008/12/081203.html>

Ilustration:CurHat
Dear honey,
Emang susah buat ngomong langsung ke mas tentang masalah ini. Yach karena satu dan lain sebab (sok diplomatis banget yak?!) Sebabnya ya… aku bingung gimana mulainya.

First, about my foolish attitude. Maksudku attitude yang nggak jelas akhir-akhir ini, yang suka marah-marah trus minta putus. Apalagi kalo tau mas udah waktunya menunaikan kewajiban. You know what I mean, right?
Mungkin ada (woops, bukan “mungkin” lagi tapi pasti) karena aku jelez. Yach, bukannya nggak pake logika. 100% aku sadar siapa aku dan bagaimana posisi aku, dan emang apalagi sih yang bisa aku arepin. Yang kita punya (aku punya, maksudku), cuma rasa. Sedangkan sisi yang lain punya segala kelebihan, keleluasaan, dan kekuasaan, lebih lebih dan lebih. I’m nothing.
Status aku dan mas kalau dilihat memang sangat nggak fair satu sama lain. Satu sisi, mas menganggap mas udah bersikap nggak fair karena nggak bisa memberikan porsi yang lebih untuk aku padahal ada yang bisa memberikan semua hal yang aku butuhkan, dan suatu saat aku akan memberikan kondisi yang sama saat aku berada di level yang sama dengan statu
s mas saat ini. Di sisi lain, mungkin hampir sama dengan apa yang mas sering omongin ke aku, tanggapan mas tentang teman2ku karena “kesendirian” yang memberi aku kebebasan “mutlak” untuk melakukan apa yang aku suka dan aku inginkan.

Mas bisa membuat aku merasa “kacau” meski aku nggak melihat-mendengar. Mas pernah menyadari nggak, apa yang mas rasakan saat aku bersama teman2ku hanya sebanding dengan perasaanku saat tau mas bersama “siapa”. Sejujurnya aku nggak peduli dengan analog mas kalau mas berada di posisi aku, dengan teman2 mas. Karena aku percaya mas. Dan kalau mas bilang rasa sayang ke aku sama porsinya dengan rasa sayang mas ke dia, sejujurnya aku nggak percaya (meski aku ingin). Karena saat bersama aku, bayang-bayang dia selalu ada - woops, bukan bayangan, tapi memang realita – meski mas mencoba untuk meng-cover. Sedangkan dia, andai dia tau, hanya menganggap aku kerikil kecil yang bisa disepak, karena aku … nothing, dan mungkin kalau ada yang disalahkan, mutlak kesalahan ada di aku. Aku tau, dan aku sadar. Karena dari beberapa “contact” antara aku dan dia, jelas banget siapa yang dicerca. Kadang kalau aku dah mangkel, pengen banget aku tereak, “ bukan gue yang mulai, tau nggak sih loe?! Apa yang loe tuduhin, semua dari awal aku udah coba eliminasi dari list-ku. Dan kesalahan waktu itu … aku masih nggak tau kenapa dan apa yang salah karena emang nggak ada maksud apa-apa. Salah dia sendiri nggak cerita dari awal… Dan sekarang, sapa yang mulai duluan? Me? A a. You’re wrong. Wanna prove? I can prove it to you! Dan jangan cuma salahin gue!” tapi aku inget omongan seseorang, dan kaya omongan orang pada umumnya perempuanlah yang patut disalahkan. Hanya saja ketakutanku yang terbesar, sampai dititik mana aku sanggup bertahan. Dan semua tidak bisa aku putuskan sendiri, karena kita sudah melampaui terlalu banyak hal. Hal-hal yang salah, yang seharusnya tidak kita lakukan andai kita bisa membatasi “rasa” yang ada pada kita. Aku butuh bantuan mas untuk melewati semua hal ini, karena tidak ada lagi aku dan kamu. Saat ini “kita”. Sejauh mana aku bisa meyakinkan diriku untuk tetap bertahan pada situasi seperti ini, dan sejauh mana mas bisa meyakinkan aku tentang apa mas untuk aku. Jujur mas, aku benar-benar merasa nggak sanggup. Disini aku merasa sendiri, benar-benar sendiri. Mungkin itu juga sebabnya aku berubah menjadi teramat sangat egois dan menuntut perhatian macam-macam dari mas, dan acuh pada perasaan mas. Aku tau, ada saat dimana mas lebih membutuhkan pengertianku, dan yang aku lakukan hanya menuntut berbagai hal dari mas. Seperti bentuk protes. Padahal sebenarnya yang aku inginkan hanya bahu untuk bersandar, that’s all. Dan yang aku butuhkan adalah mas juga membutuhkanku.
I wanna be the face you see when you close your eyes, I wanna be the touch you need every single night, I want you to need me like the air you breath, I want you to feel me in everything, I want you to see me in your every dreams, the way that I taste you, feel you, breath you, need you…I want you to need me like I need you …. Cause I need you more than you could know, And I need you to never let me go … (Celine)

Sering aku bilang, hidupku ibarat jembatan bambu yang rapuh. Aku menyeberangi sungai itu dengan meniti jembatan yang entah seberapa kuat ia akan mampu mendukungku, meski aku tau ada sungai mengalir deras dibawahnya. Banyak jeram dan karang yang siap mengoyakku kapan saja saat aku jatuh. Aku sudah terlanjur melangkah, dan aku tau tidak ada jalan untuk kembali seperti sedia kala. Mungkin aku bisa kembali, tapi semua sudah berubah. Dan bisa jadi aku melangkah terus maju, tapi aku nggak tau apa yang menungguku di depan sana. Dan bila terlalu lama, suatu saat jembatan itu akan runtuh. Hancur.

Andai mas tau, apa yang aku rasa saat ini, sangat menakutkan hidup dalam kemunafikan. Mungkin mas juga merasakannya. Aku berbohong didepan keluargaku, dan mas menutupi kenyataan yang sebenarnya dari-“nya”. Terkadang aku merasa sangat lelah. Hanya Tuhan yang tau apa yang sudah terjadi diantara kita. Dan hanya Tuhan yang tau betapa kecewanya aku, hingga ingin rasanya aku pergi dari semua yang aku kenal, semua yang aku tau, aku hanya ingin menghilang atau … mati. Aku pernah mengira aku mampu bertahan dan “mempertahankan” sesuatu yang sangat berharga. Aku ingin memberikan “sesuatu” hanya pada seorang yang memang “sudah seharusnya”. Yupp, tapi aku dah melewatkan semua itu. Semua dah terlanjur. Dan gilanya, meski selalu ada penyesalan, aku menikmati semua. Ini yang terberat.

Ironisnya, aku ingin memberikan “sesuatu” itu hanya pada orang yang aku sayangi. Dan entah kenapa, aku menyayangi mas. Entah ini kebodohan atau ketololan. Kenapa disaat ada pilihan lain yang lebih “pantas”, kenapa aku memilih mas. Sangat irasional.
Diantara naluriku sebagai seorang perempuan, dan juga perasaan yang aku yakin 100% tidak akan pernah membiarkan impianku menjadi nyata, aku membuang logikaku. Karena disaat seharusnya kita masih bisa menjaga satu sama lain demi menjaga “sesuatu”, kita sudah bertindak terlalu jauh. Aku tidak bisa menyalahkan mas karena tidak “menjaga” ku seperti yang dulu pernah mas janjikan, karena aku juga terlibat. Karena sebenarnya, yang seharusnya memegang kendali ya … aku.

Aku merasa hancur. Lebih dari rasa sakit fisik yang aku rasakan. Pembuktian yang aneh yang sampai detik ini tetap tidak kumengerti kenapa semua bisa terjadi. Terkadang aku merasa tak ada alasan lagi untuk aku untuk tetap bisa bermimpi. Aku menghancurkan sendiri hidupku.

Sepertinya aku jadi menderita paranoia akut, hehehe. Belum sampai tahap schizophrenia sich. Aku menjadi lebih sering mempertanyakan ketulusan mas mengatakan “rasa”. Apakah itu ungkapan, atau hanya polesan. Andai semua itu benar, setidaknya ada sedikit pelipur dalam penyesalanku meski aku masih sangat sadar dengan konsekuensi dari hubungan ini. Sebaliknya, menjadi bukti ketololan yang benar nyata… Aku melecehkan hidupku sendiri, dan membiarkan laki-laki melecehkan aku.
Mas pernah bilang, “jangan pakai perasaan terus pakai logika donk”. Dan yang aku temukan dari renungan logika-ku, yang aku temukan hanya kebodohan demi kebodohan. Kesalahanku dalam memilih dan melangkah. Kesalahanku mengartikan dan mengapresiasikan rasa. Aku tidak mampu menemukan bukti adanya “rasa” yang sering mas ucapkan. Yang aku punya hanya kata-kata. Karena yang kita lakukan adalah bersembunyi dari siapapun dan apapun.
Jauh dalam hatiku, aku menginginkan bukti eksistensiku didalam kehidupan mas. Sama seperti mas menginginkan kejelasan antara aku dan Iwan, bagaimana aku harus memperlakukan Iwan sebagaimana mestinya karena aku sudah “ada” mas. Kadang aku ingin teriak, mas bisa, kenapa aku enggak. Meski aku tau, nggak akan ada tempat untuk dia, tapi setidaknya dia (catet, bukan hanya “I”) bisa ada untuk aku. Sedangkan aku, harus rela “nunggu jatah” dari mas. Ngatur schedule ini itu. Harus menyesuaikan timing. Harus jaga perasaan orang lain. Logikaku mengatakan, banyak hal yang sudah aku “bayar” untuk “kita”, dan kalo menurut istilah mbak Angga namanya “rugi bandar”. Nah, kalo nurutin perasaan, memang terkadang “sakit ati” juga. Tapi aku menganggap, ini proses belajar kehidupan. Mencoba memahami dan mengerti orang lain, menyamakan pandangan dengan orang lain. Share with someone. Dan sekarang kemana aku harus melangkah? Lebih condong kemana. Buktikan padaku.

Ga nyambung banget yak… but this is how I feel…this the real me


Bener-bener Complicated ya... Tapi So what... yang penting ini adalah kejujuran hati kamu. Semoga kamu bisa lebih kuat dalam menghadapi masalah kamu setelah Curhat bersama kami. 


*Salam Cinta, Echa & Very

Comments

Popular posts from this blog

Siscon (Sister Complex)

Kata Romantis Via SmS