Cerpen : "Cinta Antara Kita..."
TulisCinta - “Kamu sayang aku, bukan cinta aku. Itu beda, Ly. Tapi it’s ok. Waktu akan memulihkan semuanya. Lagipula kita beda sekolah. Pasti akan lebih mudah untuk saling melupakan.”
Sedianya sore ini Ruben akan mengantarkan Lily ke rumah Andang. Pacar mungilnya yang cantik itu
ingin meminjam catatan Andang yang super rapi
karena semesteran sudah di depan mata. Sayangnya Ruben kecele. Ia tidak tahu apa maksud kepentingan
Allan yang sore itu sudah duduk manis di sofa
ruang tengah rumah Lily.
“Hai, ngapain kamu disini?” tanya Ruben. Ia
menekan suaranya agar Allan tahu kalau ia tidak
suka akan keberadaan Allan di rumah pacarnya.
Sabtu sore kok ke rumah pacar orang?
“Eh, Ben. Mau jemput Aster nih, adiknya Lily.”
Wuih, Ruben merasa lega mendengar jawaban Allan.
“Memang kamu pacaran sama Aster?” tanya Ruben
lagi. Setahu Ruben, Aster baru kelas tiga SMP.
“Emang gak boleh?” balas Allan.
Jadilah mereka
mengobrol berempat di ruang tengah sebelum berangkat ke masing-masing tujuan. Ruben bukannya cemburu, tetapi melihat pandang mata Allan terhadap Lily, ia merasa Allan sebenarnya menyimpan rasa yang lain terhadap Lily.
“Aster sama Allan, apa mereka lagi pacaran?”
“Mungkin cinta monyet buat Aster, tapi gak tahu
kalau Allan,” kata Lily santai.
“Bagaimana kalau sebenarnya Allan ngincer kamu,
tapi pura-pura mendekati Aster?” tanya Allan lagi,
mirip polisi yang sedang menginterogasi penjahat.
Tanpa diminta, wajah Lily berubah warna. Pacarnya gugup. Allan merasa jantungnya berdebur aneh. Kali ini ia memang cemburu.
Inginnya Lily saat ini ia bersama Ruben.
Langit yang semakin hitam dengan tumpukan awan
yang berat bergelayutan menandakan sebentar lagi bakal turun hujan deras. Sayangnya Ruben sedang praktikum sehingga tidak bisa menjemputnya. Dan ketika Lily bimbang akan menunggu bis atau naik taksi saja, ada Allan yang sudah menjejeri langkahnya.
“Pulang?”
“Heeh.”
“Ayo, kuantar. Sekalian mau mengembalikan
buku Aster,” kata Allan menawari tumpangan.
“Tapi…”
“Ayolah, rasanya dengan motor ini kita
akan lebih cepat sampai rumahmu ketimbang menunggu bis atau taksi yang lewat.”
Mereka boncengan naik motor Allan. Dan
mereka juga kehujanan tepat dua menit sebelum
sampai rumah Lily. Mereka sama-sama basah.
“Sori, Ly. Kupikir aku bisa mengantarmu tanpa perlu membuatmu basah,” celetuk Allan.
Diseruputnya teh manis hangat, perlahan.
“Mau gimana. Namanya juga cuaca. Susah diprediksi. Tapi trims ya, setidaknya aku ngirit
ongkos siang ini.”
Ternyata Aster tidak ada di rumah. Adik
Lily itu langsung les piano sepulang sekolah.
Ingat akan perkataan Ruben beberapa waktu lalu,
Lily setengah hati menemani Allan di ruang tengah.
Bukan apa-apa, tiba-tiba saja ada yang berdesir di
seluruh permukaan kulitnya ketika menemukan Allan yang tengah menatapnya. Tatapan yang tidak biasa.
“Ly, ada yang ingin kukatakan, tapi….”
“Tentang apa, Lan?” Kembali Lily merasa
ada yang aneh dengan perasaannya sendiri.
“Tentang rindu.”
Lily masih berusaha tenang untuk mendengarkan kelanjutan ucapan Allan, namun saat itu pintu depan terbuka, menyembulkan sosok Aster yang juga kebasahan.
“Hai, udah lama? Nunggu aku ya?” Dengan
gaya kocaknya Aster menepuk punggung Allan.
Dan Lily tentu saja segera beringsut meninggalkan mereka berdua. Sambil menyimpan ucapan Allan yang terakhir untuknya.
Mereka berdua berteman akrab. Tetapi sejak
kemunculan Ruben dalam hidup Lily, segalanya
berubah. Ada jeda yang tak bisa diterjemahkan yang memisahkan keakraban mereka. Rasanya sejak ada Ruben, mereka nyaris tidak pernah saling bersentuhan lagi. Lily takut Ruben tersinggung.
Allan takut Ruben cemburu. Padahal dulu, mereka
begitu dekat satu sama lain dalam ikatan persahabatan.
“Apa keistimewaan Ruben untuk kamu?”
Begitulah pertanyaan Allan ketika Lily
memutuskan untuk menerima Ruben sebagai pacar. Ia tak berani menganggap tanya itu sebagai bentuk kecemburuan. Bukankah mereka hanya bersahabat.
“Yaahh, dia baik, Lan.”
“Hanya itu?”
“Dia… dia…
berani mengungkapkan
perasaannya padaku dengan jujur.”
Sejak itulah mereka tidak bersama lagi. Tetapi setelah beberapa waktu, tiba-tiba saja Allan mulai hadir kembali di rumah Lily. Bukan untuk menjumpainya. Ia hadir untuk Aster, adik Lily. Dan melihat keakraban mereka, Lily merasa perasaannya terombang-ambing. Ia yakin tidak salah memilih Ruben. Namun, melihat Allan yang amat care terhadap Aster, Lily merasa jiwanya terbelah.
“As, kamu pacaran sama Allan ya?”
“Emang kenapa, Kak? Gak boleh?” balas Aster.
Mereka sedang nonton DVD berdua di kamar Lily.
Brad Pitt yang sedang berlaga dalam Troy berubah menjadi sosok Allan dalam penglihatan Lily. Wuih, kenapa bukan menjelma menjadi Ruben?
“Gak apa.”
“Kak, akhir-akhir ini kok Kakak lebih sering
ngelamun. Mikirin Ruben atau Allan?”
Tembakan itu begitu jitu. Mengena di jantung Lily.
Ia merasa punggungnya amat panas lantaran jengah. Sementara Aster sendiri tidak mengalihkan pandang dari film yang ditontonnya.
“Eh, kenapa kamu ngomong begitu?”
Barulah Aster menengok. “
Yah, feeling aja. Kayaknya Allan menganggap Kakak bukan sebagai sahabat, tapi pacar yang bertepuk sebelah tangan.”
“Ah, masa. Dia kan tau kalau aku udah pacaran sama Ruben.”
“O, ya? Terus kenapa Ruben tidak datang-datang
selama tiga pekan ini?”
“Memang itu urusan kamu?” balas Lily merasa
tersudut. Aster memang benar, Ruben tidak muncul
karena sedang marah. Marah karena akhirnya tahu
kalau Lily pulang berboncengan dengan Allan. Marah karena Lily tidak jujur menceritakan hal itu dan Ruben tahu dari orang lain. Padahal Lily merasa hal itu tidak perlu terlalu dibesar-besarkan.
“Kami… lagi gencatan senjata,” lanjut Lily.
“Bakal putus dong.”
“Aster! Kamu kok ngomongnya begitu sih.”
Adiknya hanya mengedikkan bahu dan kembali
asyik menonton Troy.
Tidak mudah melupakan Ruben. Mereka selalu
bersama-sama sejak pacaran. Enam hari dalam
seminggu mereka selalu bertemu. Dan hanya karena
sebuah kebetulan yang tidak direncanakan sama
sekali, Ruben pada akhirnya ilfil pada Lily.
“Aku minta maaf, Ben. Sungguh, itu kejadian yang gak disengaja.”
Lagi-lagi soal Allan yang membonceng Lily terangkat dalam pembicaraan antara mereka.
“Ly, aku juga minta maaf. Tapi, rasanya hubungan kita harus berakhir. Kamu tidak cinta aku sepenuhnya. Masih ada Allan dalam pikiranmu.”
Setelah sekian bulan pacaran, kata-kata Ruben seperti mata panah yang amat tajam. Terhujam
di lubuk hati Lily begitu dalam sehingga airmata
menitik begitu saja menahan rasa sakit di dadanya.
“Aku sayang kamu, Ben. Apa kamu sangsi?
“Kamu sayang aku, bukan cinta aku. Itu beda, Ly.
Tapi it’s ok. Waktu akan memulihkan semuanya.
Lagipula kita beda sekolah. Pasti akan lebih mudah
untuk saling melupakan.”
“Ben, sungguhkah kita harus berpisah?”
Ruben tidak menjawab, tetapi ketika mereka
akhirnya pulang sendiri-sendiri, Lily tahu bahwa
hubungan kasih itu telah berakhir.
Lily sedang membaca majalah. Ketika
lonceng depan berbunyi, ia membukakan pintu buat
seorang tamu. Allan. Melihat buket mawar yang
dibawa cowok itu, Lily gemetar.
“Hai, boleh aku masuk?” sapa Allan, begitu
lembut.
“Eeh, eeh, ayo masuklah.”
“Sudah lama kita gak ketemuan, Ly. Kamu
tampak kurusan ya?”
Lily mengangguk pelan. Tentu saja. Mata
cekungnya tidak bisa membohongi siapapun. Sudah
dua bulan ia putus dari Ruben, tapi masih ada
tangis yang tersisa atas cinta itu.
“Ly, masih ingat waktu kukatakan tentang
rindu itu?”
Desiran halus dalam dada Lily berubah
menjadi deburan dahsyat. Allan menatap matanya
langsung, dalam-dalam. “Ya, aku ingat.”
“Rindu itu buat kamu, Ly.”
Lili terperangah. Takjub. “Benarkah?”
“Iya. Sulit sekali mengungkapkannya karena
aku tidak bisa mengucapkan kata cinta buat kamu.
Tetapi akhirnya semua bisa kuredam, bisa
kulupakan. Karena sekarang ada Aster yang mulai
belajar mencintaiku. Aku harap ia bisa tumbuh
dewasa bersama dengan cinta yang kutabur
untuknya.”
“Jadi….”
“Aku baru mau meresmikan hubungan kami,
Ly. Makanya kubawakan ia bunga sebagai tanda
cinta. Cukup romantis kan?”
“Romantis sekali,” desis Lily.
“Aku gak mau ada orang lain yang keburu mendapatkan cinta Aster seperti yang terjadi
padamu. Aku belajar berani untuk mengungkapkan
perasaanku.”
Tubuh Lily lunglai. Bunga itu bukan untuknya. Cinta Allan juga bukan untuk hatinya. Malam ini ada satu hal yang Lily tahu pasti, akan ada airmata lagi yang menemani tidurnya.
Sedianya sore ini Ruben akan mengantarkan Lily ke rumah Andang. Pacar mungilnya yang cantik itu
ingin meminjam catatan Andang yang super rapi
karena semesteran sudah di depan mata. Sayangnya Ruben kecele. Ia tidak tahu apa maksud kepentingan
Allan yang sore itu sudah duduk manis di sofa
ruang tengah rumah Lily.
“Hai, ngapain kamu disini?” tanya Ruben. Ia
menekan suaranya agar Allan tahu kalau ia tidak
suka akan keberadaan Allan di rumah pacarnya.
Sabtu sore kok ke rumah pacar orang?
“Eh, Ben. Mau jemput Aster nih, adiknya Lily.”
Wuih, Ruben merasa lega mendengar jawaban Allan.
“Memang kamu pacaran sama Aster?” tanya Ruben
lagi. Setahu Ruben, Aster baru kelas tiga SMP.
“Emang gak boleh?” balas Allan.
Jadilah mereka
mengobrol berempat di ruang tengah sebelum berangkat ke masing-masing tujuan. Ruben bukannya cemburu, tetapi melihat pandang mata Allan terhadap Lily, ia merasa Allan sebenarnya menyimpan rasa yang lain terhadap Lily.
“Aster sama Allan, apa mereka lagi pacaran?”
“Mungkin cinta monyet buat Aster, tapi gak tahu
kalau Allan,” kata Lily santai.
“Bagaimana kalau sebenarnya Allan ngincer kamu,
tapi pura-pura mendekati Aster?” tanya Allan lagi,
mirip polisi yang sedang menginterogasi penjahat.
Tanpa diminta, wajah Lily berubah warna. Pacarnya gugup. Allan merasa jantungnya berdebur aneh. Kali ini ia memang cemburu.
Inginnya Lily saat ini ia bersama Ruben.
Langit yang semakin hitam dengan tumpukan awan
yang berat bergelayutan menandakan sebentar lagi bakal turun hujan deras. Sayangnya Ruben sedang praktikum sehingga tidak bisa menjemputnya. Dan ketika Lily bimbang akan menunggu bis atau naik taksi saja, ada Allan yang sudah menjejeri langkahnya.
“Pulang?”
“Heeh.”
“Ayo, kuantar. Sekalian mau mengembalikan
buku Aster,” kata Allan menawari tumpangan.
“Tapi…”
“Ayolah, rasanya dengan motor ini kita
akan lebih cepat sampai rumahmu ketimbang menunggu bis atau taksi yang lewat.”
Mereka boncengan naik motor Allan. Dan
mereka juga kehujanan tepat dua menit sebelum
sampai rumah Lily. Mereka sama-sama basah.
“Sori, Ly. Kupikir aku bisa mengantarmu tanpa perlu membuatmu basah,” celetuk Allan.
Diseruputnya teh manis hangat, perlahan.
“Mau gimana. Namanya juga cuaca. Susah diprediksi. Tapi trims ya, setidaknya aku ngirit
ongkos siang ini.”
Ternyata Aster tidak ada di rumah. Adik
Lily itu langsung les piano sepulang sekolah.
Ingat akan perkataan Ruben beberapa waktu lalu,
Lily setengah hati menemani Allan di ruang tengah.
Bukan apa-apa, tiba-tiba saja ada yang berdesir di
seluruh permukaan kulitnya ketika menemukan Allan yang tengah menatapnya. Tatapan yang tidak biasa.
“Ly, ada yang ingin kukatakan, tapi….”
“Tentang apa, Lan?” Kembali Lily merasa
ada yang aneh dengan perasaannya sendiri.
“Tentang rindu.”
Lily masih berusaha tenang untuk mendengarkan kelanjutan ucapan Allan, namun saat itu pintu depan terbuka, menyembulkan sosok Aster yang juga kebasahan.
“Hai, udah lama? Nunggu aku ya?” Dengan
gaya kocaknya Aster menepuk punggung Allan.
Dan Lily tentu saja segera beringsut meninggalkan mereka berdua. Sambil menyimpan ucapan Allan yang terakhir untuknya.
Mereka berdua berteman akrab. Tetapi sejak
kemunculan Ruben dalam hidup Lily, segalanya
berubah. Ada jeda yang tak bisa diterjemahkan yang memisahkan keakraban mereka. Rasanya sejak ada Ruben, mereka nyaris tidak pernah saling bersentuhan lagi. Lily takut Ruben tersinggung.
Allan takut Ruben cemburu. Padahal dulu, mereka
begitu dekat satu sama lain dalam ikatan persahabatan.
“Apa keistimewaan Ruben untuk kamu?”
Begitulah pertanyaan Allan ketika Lily
memutuskan untuk menerima Ruben sebagai pacar. Ia tak berani menganggap tanya itu sebagai bentuk kecemburuan. Bukankah mereka hanya bersahabat.
“Yaahh, dia baik, Lan.”
“Hanya itu?”
“Dia… dia…
berani mengungkapkan
perasaannya padaku dengan jujur.”
Sejak itulah mereka tidak bersama lagi. Tetapi setelah beberapa waktu, tiba-tiba saja Allan mulai hadir kembali di rumah Lily. Bukan untuk menjumpainya. Ia hadir untuk Aster, adik Lily. Dan melihat keakraban mereka, Lily merasa perasaannya terombang-ambing. Ia yakin tidak salah memilih Ruben. Namun, melihat Allan yang amat care terhadap Aster, Lily merasa jiwanya terbelah.
“As, kamu pacaran sama Allan ya?”
“Emang kenapa, Kak? Gak boleh?” balas Aster.
Mereka sedang nonton DVD berdua di kamar Lily.
Brad Pitt yang sedang berlaga dalam Troy berubah menjadi sosok Allan dalam penglihatan Lily. Wuih, kenapa bukan menjelma menjadi Ruben?
“Gak apa.”
“Kak, akhir-akhir ini kok Kakak lebih sering
ngelamun. Mikirin Ruben atau Allan?”
Tembakan itu begitu jitu. Mengena di jantung Lily.
Ia merasa punggungnya amat panas lantaran jengah. Sementara Aster sendiri tidak mengalihkan pandang dari film yang ditontonnya.
“Eh, kenapa kamu ngomong begitu?”
Barulah Aster menengok. “
Yah, feeling aja. Kayaknya Allan menganggap Kakak bukan sebagai sahabat, tapi pacar yang bertepuk sebelah tangan.”
“Ah, masa. Dia kan tau kalau aku udah pacaran sama Ruben.”
“O, ya? Terus kenapa Ruben tidak datang-datang
selama tiga pekan ini?”
“Memang itu urusan kamu?” balas Lily merasa
tersudut. Aster memang benar, Ruben tidak muncul
karena sedang marah. Marah karena akhirnya tahu
kalau Lily pulang berboncengan dengan Allan. Marah karena Lily tidak jujur menceritakan hal itu dan Ruben tahu dari orang lain. Padahal Lily merasa hal itu tidak perlu terlalu dibesar-besarkan.
“Kami… lagi gencatan senjata,” lanjut Lily.
“Bakal putus dong.”
“Aster! Kamu kok ngomongnya begitu sih.”
Adiknya hanya mengedikkan bahu dan kembali
asyik menonton Troy.
Tidak mudah melupakan Ruben. Mereka selalu
bersama-sama sejak pacaran. Enam hari dalam
seminggu mereka selalu bertemu. Dan hanya karena
sebuah kebetulan yang tidak direncanakan sama
sekali, Ruben pada akhirnya ilfil pada Lily.
“Aku minta maaf, Ben. Sungguh, itu kejadian yang gak disengaja.”
Lagi-lagi soal Allan yang membonceng Lily terangkat dalam pembicaraan antara mereka.
“Ly, aku juga minta maaf. Tapi, rasanya hubungan kita harus berakhir. Kamu tidak cinta aku sepenuhnya. Masih ada Allan dalam pikiranmu.”
Setelah sekian bulan pacaran, kata-kata Ruben seperti mata panah yang amat tajam. Terhujam
di lubuk hati Lily begitu dalam sehingga airmata
menitik begitu saja menahan rasa sakit di dadanya.
“Aku sayang kamu, Ben. Apa kamu sangsi?
“Kamu sayang aku, bukan cinta aku. Itu beda, Ly.
Tapi it’s ok. Waktu akan memulihkan semuanya.
Lagipula kita beda sekolah. Pasti akan lebih mudah
untuk saling melupakan.”
“Ben, sungguhkah kita harus berpisah?”
Ruben tidak menjawab, tetapi ketika mereka
akhirnya pulang sendiri-sendiri, Lily tahu bahwa
hubungan kasih itu telah berakhir.
Lily sedang membaca majalah. Ketika
lonceng depan berbunyi, ia membukakan pintu buat
seorang tamu. Allan. Melihat buket mawar yang
dibawa cowok itu, Lily gemetar.
“Hai, boleh aku masuk?” sapa Allan, begitu
lembut.
“Eeh, eeh, ayo masuklah.”
“Sudah lama kita gak ketemuan, Ly. Kamu
tampak kurusan ya?”
Lily mengangguk pelan. Tentu saja. Mata
cekungnya tidak bisa membohongi siapapun. Sudah
dua bulan ia putus dari Ruben, tapi masih ada
tangis yang tersisa atas cinta itu.
“Ly, masih ingat waktu kukatakan tentang
rindu itu?”
Desiran halus dalam dada Lily berubah
menjadi deburan dahsyat. Allan menatap matanya
langsung, dalam-dalam. “Ya, aku ingat.”
“Rindu itu buat kamu, Ly.”
Lili terperangah. Takjub. “Benarkah?”
“Iya. Sulit sekali mengungkapkannya karena
aku tidak bisa mengucapkan kata cinta buat kamu.
Tetapi akhirnya semua bisa kuredam, bisa
kulupakan. Karena sekarang ada Aster yang mulai
belajar mencintaiku. Aku harap ia bisa tumbuh
dewasa bersama dengan cinta yang kutabur
untuknya.”
“Jadi….”
“Aku baru mau meresmikan hubungan kami,
Ly. Makanya kubawakan ia bunga sebagai tanda
cinta. Cukup romantis kan?”
“Romantis sekali,” desis Lily.
“Aku gak mau ada orang lain yang keburu mendapatkan cinta Aster seperti yang terjadi
padamu. Aku belajar berani untuk mengungkapkan
perasaanku.”
Tubuh Lily lunglai. Bunga itu bukan untuknya. Cinta Allan juga bukan untuk hatinya. Malam ini ada satu hal yang Lily tahu pasti, akan ada airmata lagi yang menemani tidurnya.