CERPEN: Yang Luruh dan Yang Runtuh (Karya BluepiscesLady)

Hujan di luar kian deras. Tetes airnya menembus atap jerami yang melingkupi pondok itu. Rasyid berusaha mengamankan beberapa lukisan dari jangkauan air yang menyelusup. Musnah sudah rencananya untuk ke puncak sana, mengabadikan indahnya rimba yang terlihat dari atas. Pemuda itu mengambil kecapi dari bawah dipan lalu memainkannya.

Terdengar irama ritmis khas Jawa Barat ditingkah rinai hujan yang mulai reda. Rasyid terhanyut sendiri. Saat itu matanya menohok sebuah lukisan di sudut ruang. Seraut wajah perempuan tiba-tiba membuat permainan kecapinya jadi kacau. Kemudian mulut Rasyid bergumam tak jelas. Dan suara kecapi tak terdengar lagi.

“Kok, berhenti, ras?” Sebuah suara mengejutkan dari balik pondok. Disusul kemunculan seorang lelaki dengan tubuh basah kuyup.
“Sori tidak permisi. Soalnya aku terburu hanyut dengan permainan suara kecapimu,” sambungnya.
“Sendiri saja?” Rasyid bertanya.

“Ya. Kan kau sendiri yang mau. Katamu, kalau ke sini lebih baik tidak usah beramai-ramai. Jadi bergilir. Bagaimana lukisanmu? Sudah selesai?”
“Belum. Mau aku selesaikan tapi sedang tidak mood. Tuh, nelum selesai juga kan,” Ras menunjuk sebuah lukisan yang belum jadi tersandar di dinding. Tangannya menyulut rokok kretek murahan. Dihisap beberapa kali sambil merenung, lalu terbatuk-batuk.
“Merokok jangan kayak kereta begitu, dong. Kamu tidak muda lagi. Eh, ngomong-ngomong apa kabarnya Raisa? Masih sering dia kemari?” Ari memancing.

Rasyid tak menjawab. Sedikit ia mengerling pada lukisan di sudut ruang, lalu kembali tak acuh. Rasanya sulit menggantikan sosok pada lukisan itu dengan perempuan lain. Kendati Raisa adalah perempuan cukup manis, baik dan penuh perhatian. Ia juga berjiwa seni seperti dirinya. Tak seperti perempuan di atas kanvas itu. Hati rasyid seperti tertusuk tiap kali ingat kejadian itu.

“Apa kurangnya Raisa, Ras?” Ari menyelidik.
Lagi-lagi Rasyid hanya menghembuskan asap rokok kreteknya.
“Dia suka sama kamu, Ras. Cantik, sama-sama suka seni dan tidak kolot seperti kebanyakan perempuan.”
“Urus saja dirimu sendiri, Ri.” Rasyid kehabisan kesabaran mendengar celoteh Ari.
“Ooo, jadi kau masih mengharapkan Anika? Sudahlah, dia sedang asyik dengan tunangannya. Buat apa kau tunggu lagi. Memikirkan satu perempuan saja bisa membuat dirimu mati bujang!” Seloroh Ari.

Rasyid tetap tak bergeming. Ia hanya melirik kesal ke arah sahabatnya. Disisrnya rambut panjangnya dengan jemari tangan.
Entah sudah berapa tahun ia tinggal di sini. Sebuah pondok mungil di atas bukit. Jauh dari keramaian kota. Jauh dari rumah mewah milik orang tuanya. Barangkali lima, enam tahun, entahlah. Seniman gunung, begitu ras dijuluki oleh teman-temannya dan penduduk sekitar. Ia hidup dari penjualan lukisan atau besukan teman-teman. Keluarga ras sendiri tak pernah lagi terdengar kabarnya. Memang pria setengah baya itu tak pernah mau tau lagi.

Semua diawali sekitar tujuh tahun silam saat ia tinggalkan rumah. Hanya membawa peralatan lukis serta beberapa helai baju. Sempat menumpang sana-sini, akhirnya terdampar di sebuah pondok yang dibangun bersama teman-teman ini. Sebuah pondok sederhana di kaki Gunung Salak. Sepi, terpencil. Menjadi tempat pertapaan Rasyid dan beberapa teman seniman. Rasyid menjadi penghuni tetap dan sama sekali tak pernah menjejakkan kaki ke kota.
Ras terhenyak dari lamunan ketika terdengar petikan gitar Ari.

“Minggu depan Adit anakku ulang tahun,” ucap Ari mengingatkan. “Boleh kubawa ke sini kan? Aku ingin dia tumbuh sebagai manusia yang mencintai alam.”
“Boleh saja. Aku suka anak itu,” jawab Ras.
“Ngomong-ngomong soal anak, kapan kau punya anak sendiri,Ras?” Pancing Ari.
“Lagi-lagi kau pancing masalah itu, Ri. Aku bilang, urus saja dirimu dan keluargamu sendiri. Jangan singgung soal perempuan dan pernikahan di hadapanku!” Ras menggerutu membuang puntung rokoknya.

Ari hanya mengangkat bahu. Untuk masalah yang satu itu karibnya memang sensitif sekali. Teman lain juga suka menggoda Ras, baik serius maupun bercanda. Maksudnya tak lain agar satu-satunya teman mereka yang belum menikah itu segera mengakhiri masa membujangnya seperti mereka. Nampaknya itu cukup sulit. Sebab Ras masih terpaku pada Anika, gadis masa lalunya yang sudah bertunangan dengan lelaki lain. Berbagai cara mereka lakukan agar Ras melupakan Anika. Tapi Ras tetap berkeras. Lukisan potret perempuan itu di sudut pondok menjadi bukti bahwa Ras tak pernah bisa menghapus ingatannya pada Anika.

Sampai suatu ketika Ari dan Beni berkenalan dengan Raisa. Perempuan berambut panjang itu baru saja lulus dari sebuah institut seni di Jakarta. Ia tengah berusaha mendapatkan patner menggelar pameran bersama ketika bertemu dengan mereka. Kelamaan Raisa jadi akrab dan diajaknya ke pondokan Rasyid. Di situlah ide untuk menjodohkan kedua insan berlain jenis itu mulai.

Seperti tak sia-sia, Raisa mulai menunjukkan perhatian pada Ras. Namun sayang Ras tak sedikitpun bergeming. Ia justru gusar saat tahu teman-temannya dengan sengaja menjadi mak comblang antara ia dan Raisa.

“Tak ada apa-apa antara aku dan Raisa. Silahkan kalian kecewa kalau berharap aku akan jatuh cinta padanya,” kata Ras suatu hari.
Itulah Rasyid, si gondrong yang keras kepala. Kesetiaannya pada cinta membuat dirinya terpenjara. Satu-satu teman karibnya mulai berkeluarga. Ras masih menyendiri di pondoknya yang kian lapuk seperti dirinya. Teman-teman Ras khawatir ia berangsur jadi tak waras. Maka perempuan demi perempuan diperkenalkan pada Ras. Tak satupun digubris. Di dihup Ras hanya ada satu perempuan. Ya Anika itulah.

Hari mulai gelap ketika Ras kembali ke pondok. Dua orang lelaki sudh menunggu. Ari dan Budi.
“Sudah lama?” Tanya Ras.
“Lumayan. Kau dari atas?” Budi balik bertanya.
Ras mengangguk sembari memamerkan lukisannya yang masih basah. Sebuah pemandangan hutan pinus yang diambil dari atas gunung. Indah.
“Hebat, ras,” komentar Budi.
Ras masuk ke pondok. Saat itu ia mendengar kasak kusuk kedua temannya. Tapi mereka langsung terdiam waktu Ras keluar.
“Ada apa sebenarnya?” Ia bertanya curiga.
Ari dan Budi saling berpandangan.
“Begini, kami membawa amanat seorang teman,” Ari mendekati, memegang pundak Ras. Tangan lainnya menggamit sesuatu.
“Aku berat menyampaikan padamu. Tapi bagaimana lagi, ini amanat.”
Ras kian tak mengerti. Tanda tanya besar tergambar di wajahnya.
“Kau tenang saja. Jangan terbawa perasaan begitu.” Ari menyodorkan sebuah amplop.
“Bacalah dengan tenang.”

Ras menyambut amplop merah muda itu dan membukanya. Sebuah surat undangan pernikahan dari gadis masa lalunya, Anika. Pernikahan Anika dengan lelaki lain entah siapa. Wajah Ras berubah drastis. Undangan itu dijatuhkan tanpa sengaja. Lelaki setengah baya berambut panjang sepinggang itu mematung sejenak.

“Ini kenyataan,ras. Kau harus terima dengan jiwa besar seorang laki-laki,” Ari menepuk pundaknya.

Ras bergegas masuk pondok. Lukisan di sudut ruangan diambilnya. Ditatap lama. Lalu dibanting. Kemudian terdengar suara gaduh luar biasa. Semua benda dalam ponsok itu dihancurkan oleh Ras. Ari dan Budi mencoba mencegah tapi sia-sia. Ras mengamuk seperti banteng liar. Ketika amarahnya reda, pondok itu sudah berantakan. Tak satupun lukisan yang utuh.

“Ras! Kau tak bisa begini! Kau hancurkan karyamu bertahun-tahun hanya karena masalah sepele ini. Apa cuma sampai di sini ketegaranmu?” Ari berusaha menyadarkan.
“Pergi kau dari sini!” Seniman itu membentak.
“Ooo, cuma sampai di sini kemampuanmu, Ras?”
“Enyah!!!”
“Kau laki-laki pengecut, ras. Tidak bisa menerima kenyataan.”

Ari dan Budi berlalu. Meninggalkan Ras dalam keadaan kacau balau. Bagi mereka percuma saja mencoba menenangkan pemuda keras kepala itu di saat seperti ini. Tak lama sepeninggal mereka, Ras meninggalkan pondok. Turun ke desa terdekat. Ia menuju sebuah warung yang biasa menjual minuman keras. Sejak hari itu Ras menjadi pelanggan setia warung itu.

Tenam-teman Ras yang berkunjung tak pernah lagi melihat Ras melukis. Yang terdengar hanya nada-nada sumbang gitar yang dimainkan si gondrong itu. Beberapa botol minuman keras mulai memenuhi pondok. Ini memprihatinkan teman lain. Terlebih Ras sering didapati sedang mabuk, tak sadarkan diri. Pondok jadi berantakan tak terurus. Persis diri Ras yang kian terlihat tua dan rapuh.

“Aku menyesal menyampaikan undangan itu,” ujar Ari.
“Tidak, Ri. Itu jalan yang terbaik. Bagaimanapun juga Ras harus berhenti dari harapan konyolnya. Ia harus hadapi kenyataan,” kata teman lain.
“Tak kuduka akan begini akibatnya,” sesal Budi.
“Biarkan saja. Kita harap ras segera pulih dari keadaan ini,” sergah Rani.
Namun ternyata Ras tak juga bertambah baik. Justru semakin parah saja. Keadaannya kian memburuk dari hari ke hari. Ia juga menjadi dingin terhadap wanita. Raisa yang setia datang memasakkan makanan dan mencuci pakaiannya tak pernah diacuhkan. Ini membuat teman-teman Ras lebih sering datang berkunjung menjagai sobat karibnya itu.
“Ras tak pernah menggubrismu sedikitpun, Raisa. Lalu kenapa kau masih setia menemaninya?”
“Kalau ras bisa begitu setia pada gasi pujaannya, kenapa aku tidak?” Raisa menjawab polos.
“Jadi kau benar-benat mencintainya?” Tanya Budi.
“Ya.”
“Walaupun ia tak mempedulikanmu?”
Raisa mengangguk.
“Kau dan Rasyid membuatku bingung. Ras tak bisa melupakan Anika. Kau juga tak bisa berhenti mencintai Ras. Ini seperti lingkaran setan saja. Kalian sungguh membuatku bingung,” gerutu Bani.
Memang mulanya mereka mengira dengan kesetiaan Raisa merawat ras akan membuat Ras melupakan Anika. Tapi itu sia-sia.
“Sudahlah, Raisa. Tinggalkan saja si gondrong tak tahu diri itu. Kami tak ingin kau jadi korban cinta yang kedua. Ia memang batu. Percuma kau sayangi orang macam itu,” bujuk Ari dan yang lain.
Yang terjadi justru sebaliknya. Raisa kian setia merawat Rasyid. Pernah sekali waktu ras mengamuk dan mengusirnya. Raisa tetap kembali menemani pelukis yang tak pernah lagi melukis itu.

Suatu petang Ras begitu berkeras tak mau makan sesuapun nasi. Ia hanya mau minum vodka dan vodka.
“Oke, kaudapatkan vodka setelah makan.” Raisa berkata tegas.
“Aku tidak lapar, cuma haus. Kembalikan botol itu!”
Raisa tetap menyembunyikan botol vodka Ras.
“kau kira bisa menghalangiku? Sejak dulu aku bebas tanpa campur tangan siapapun. Tiba-tiba kau hadir dan melarang ini-itu. Siapa sih kau ini?!”
Ras menghilang, turun meninggalkan Raisa di pondok. Tak lama ia kembali dengan vodka di tangan. Raisa mencoba merebutnya tapi tak bisa.
“Sekali lagi kaudekati aku, kuhancurkan kepalamu dengan ini,” Ras mengancam sambil mengacungkan botol kosong.

Raisa tak kehilangan akal. Saat ras lengah direbutnya botol vodka itu dan dilempar jauh-jauh. Tak ada perlawanan daei Ras. Ia hanya tepekur dengan mata tertutup. Raisa baru sadar bahwa lelaki itu pingsan. Ia jadi panik. Dibaringkan tubuhnya di dipian. Ras sempat bangun memuntahkan cairan merah kental. Darah. Lalu ia tak sadar lagi. Raisa tambah panik. Ia berlari menuruni bukit. Menuju desa di bawah dan menyetop kendaraan umum. Sampai di kota segera ditelponnya teman-teman lain.

Menjelang malam, Ari, Budi, Dian dan bani tiba di pondok. Ras dalam keadaan tak sadar. Mengigau tak keruan.
“Kita bawa ke rumah sakit,” kata Bani.
Malam itu juga tubuh kurus Ras diboyong ke rumah sakit di kota. Masuk ke ruang gawat darurat. Keadaannya koma. Terlambat sekian detik saja mungkin tak tertolong lagi, begitu kata dokter.
“Kali ini dia cari penyakit!” Budi menggerutu kesal.

Tiga hari sudah ras menghuni rumah sakit. Keadaannya tak kunjung pulih walau tak lagi koma. Ia masih mengingau. Bernyanyi tak keruan mengganggu pasien lain. Susah disuruh minum obat. Kadang juga berjalan di tengah malam sambil membawa botol infus. Teman-teman bergilir menjaga. Raisa yang paling setia. Keluarga Ras di jakarta sudah dihubungi. Cuma adiknya yang datang.

“Ayah masih di Singapur. Ibu sedang sibuk seminar. Kalau semua sudah beres, Bang Rasyid akan dijembput,” jelas adik Ras.
“Kapan beresnya? Sejak dulu juga urusan mereka tak pernah beres hingga anaknya jadi begini rupa,” sindir Bani.
Ari menyikut lengan Bani.
“Tak apa. Kami teman-temannya sudah seperti saudara bagi ras. Kalau kau sibuk, biarlah ras kami yang rawat,” kata Ari menenangkan adik ras.
“Bukan apa-apa, saya mau ujian semester. Jadi tak bisa menjaga Bang Rasyid. Ibu menitipkan ini,” adik ras menyodorkan amplop berisi uang untuk biaya pengobatan. Tak lama ia pergi tanpa sekalipun menengok abangnya yang terkapar.
“Aku betul-betul paham sekarang kenapa Ras lebih memilih tinggal di gubuk daripada bersama keluarganya,” komentar Budi.

Selama di rumah sakit, hubungan rasyid dan Raisa kian dekat. Ras sudah mau iklas membiarkan dirinya dirawat perempuan itu. Ia tak lagi kasar seperti waktu di pondok. Tapi nama yang sering disebut dalam igauannya adalah Anika.

“Bukan aku tak tahu budi, Raisa. Kau begitu setia padaku. Demikian juga hatiku pada Anika. Cintaku sudah habis kuserahkan padanya dan tak bisa membaginya untukmu,” begitu kata Ras suatu ketika pada Raisa.
“Aku mengerti, Ras. Kau tak bisa berhenti mencintai Anika seperti halnya aku tak bisa berhenti mencintaimu,” jawab Raisa tabah.

Seminggu kemudian keluarga Ras datang menjembput. Ras akan dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Orang tua Rasyid nampak begitu merindukan anaknya. Sikap Ras sendiri acuh tak acuh. Ia seolah keberatan dipisahkan dari teman-temannya.

“Biar aku di sini saja,” Ia berkeras.
“Kau ikut kami ke Jakarta, titik. Sudah berapa lama kau tak pulang? Di sana kami akan lebih memperhatikanmu,” kata ibu Ras.
“Simpan saja janji itu, Bu. Aku tak mau pulang!” Ras tetap bersikeras.
“Rasyid, cukup sudah ulahmu yang bikin pusing keluarga! Kali ini kau harus menurut!” Ayah Rasyid mengultimatum.
Rasyid hanya mampu melawan dengan ucapan. Tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Sore itu juga ia diboyong k Jakarta.
“Aku takkan pernah bisa melupakan kalian, saudaraku yang sesungguhnya,” Rasyid memeluk satu-satu temannya.
“Kami juga, Ras. Jangan kawatir, kami akan mengunjungimu,” sambut Budi.
Raisa hanya menangis, tak berucap sepatah katapun. Entah kenapa dalam hatinya merasa seperti tidak akan melihat Rasyid lagi. Tapi rasa itu hanya dipendamnya.

Seminggu, dua minggu. Sebulan sudah sejak kepergian Rasyid ke Jakarta. Pondok jadi tak terurus. Memang masih satu dua orang yang menyempatkan diri untuk mengurus. Kesibukan kerja membuat pondok terlupakan. Apalagi Ras tak lagi di situ. Hanya Raisa yang datang setia untuk melukis.
Pagi itu Ari hendak berangkat kerja ketika tiba-tiba ada yang bertamu. Ternyata adik rasyid.

“Hei, kau datang langsung dari jakarta?” Ari terkejut melihatnya di muka pintu.
“Iya, Kak. Saya ingin mengabarkan sesuatu tentang Bang Rasyid.
“Wah, apa kabarnya dia? Sudah sehat? Apa jangan-jangan sedang bersembunyi di belakangmu ,” Ari mencari-cari Ras di teras rumahnya
Wajah adik Ras berubah.
“Ada apa?” Ari terkejut.
“bang rasyid mnitipkan ini,” ua menyodorkan kertas yang terlipat. Ari menerimanya cepat dan membaca.
“Dalam sejarah hidupku, hanya kalianlah saudara dan keluargaku yang sebenarnya. Walau tanpa ikatan darah atau pengangkatan resmi. Akan kukatakan itu pada Tuhan kalau bertemu nanti. Rasyid.”

Sebuah tulisan khas Rasyid yang berantakan tapi masih terbaca tertera di atas sebuah kertas buram. Ari hanya terpaku.
“Ada apa dengan Rasyid?”
“Bang Ras dipanggil Tuhan kemarin sore. Langsung dikuburkan tadi malam. Maaf, saya baru bisa mengabari sekarang,” pelan adik Ras bertutur.

Ari seperti tak mendengar apapun. Telinganya berdenging keas. Terdengar denting tali kecapi yang dimainkan Rasyid. Terngiang suara Ras mengigau tak keruan.

Pinggiran Jakarta, desember 1994
Buat almarhum Richard. 
"Copy From TanyaCinta.Com"

Comments

  1. Iyah, thanks buat faza udah nyempetin diri mampir di blog kami ini. Ditunggu coment2 berikutnya. ^_^

    ReplyDelete

Post a Comment

Terimakasih... Atas koment yang kamu berikan. Ini membantu sekali untuk memotivasi kami untuk lebih baik lagi.

Salam Cinta Tari & Very

Popular posts from this blog

Siscon (Sister Complex)

Kata Romantis Via SmS